"Ra.." panggil Rhein pada Diora yang lagi enak-enaknya duduk di sofa ruang tengah sehabis makan siang. Orang yang dipanggil sedikitpun tak bergeming, malah asyik ngedengerin musik dari headset MP3-nya.
"RA..!!!" Teriak Rhein. Diora masih saja tak bergemik. Gimana mau bergemik coba, orang headsetnya masih nangkring di telinga. Ya... mana denger Dioranya, walaupun diteriakin pake megaphone juga tetep nggak bakalan denger. Kan lagi konsen ke musiknya. Mana matanya ditutup lagi, kan nggak bisa ngeliat muka Rhein yang lagi kesel. ^_^
"Ra...!!" Sambil menarik headset.
"AAAAUUUUU!! membuka matanya, "Rhein!! Loe apa-apaan sih. Sakit, tahu!" Memegang kupingnya yang merah akibat tarikan Rhein. Ini anak nggak tahu orang lagi asyik apa? Batinnya.
"Abisnya kamu sih, Dipanggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut. Kan aku jadi kesel." Jawabnya polos.
"Loe juga. Orang lagi dengerin musik loe panggilin." Merampas kembali headsetnya dari tangan Rhein.
"Aku juga udah teriak kali. Biar kamunya denger. Tapi tetep aja kamunya cuek." Wajahnya manyun.
"Dasar, loe ya..." Menggaruk-garuk kepalanya, "Ya, mana gue denger. Mau loe teriak pake alat pengeras suara juga gue tetep nggak denger. Orang gue dengerin musiknya pake volume maksimal kok. Ye..."
"Jadi, gimana dengan jawabannya?"
"Jawaban apaan?"
"Jawaban soal trigonometri tadi."
"Oooo, terus kenapa dengan jawabannya?"
"Kok malah balik nanya sih." Sedikit menghentakan kakinya ke lantai. Kemudian berjalan mendekati Diora. "Tadi kamu bilang mau ngebahas ini selesai makan. Sekarang kan,makannya udah, terus aku mau nagih kata-kata kamu tadi. So, gimana dengan jawabannya?" Tanyanya lagi.
"Ooo.. Gitu aja dipusingin. Biasa aja kali. Ya udah biar loe nggak rewel lagi, sini gue kerjain dulu pake cara gue sendiri." Memasang kembali headset yang tadi sempat terlepas dari telinganya. Kemudian mengambil selembar kertas yang ada di tangan Rhein.
Beberapa menit kemudian, Diora mulai mengutak-atik angka-angka yang membuat Rhein gelisah sambil mendengarkan musik dari MP3-nya. Sedangkan Rhein melihat cara Diora menyelesaikan soal tersebut. Sepuluh menit kemudian...
"Dua per tujuh." sahut Diora.
"Masa?!" tanyanya tak percaya. "Kok aku dapet dua per lima sih?" "
Tadi loe salah itung kali. Coba loe itung ulang lagi." Perintahnya.
"Iya deh..." Rhein menurut.
Setelah di selidiki ternyata Rhein memang salah menghitung. Dia nggak sengaja salah masukin angka.
"Tuh kan, bener. Loe itu seharusnya nggak usah panik kayak gitu."
"Iya deh. Aku salah." aku Rhein. Kemudian mereka asyik dengan kegiatan masing-masing. Rhein asyik membaca komiknya sedangkan Diora kembali ke dunia musiknya.
---
"Nggak boleh!" Bentaknya. "Kalau kamu pulangnya nggak mau dianter mang Udin, lebih baik kita nggak usah berteman aja lagi." Ancamnya.
"Tuh kan mulai deh ngancemnya. Ya, udah kalau gitu. gue nurut deh." Kemudian Rhein memanggil mang Udin dan menyuruhnya mengantarkan Diora pulang ke rumahnya. Rhein emang anak yang baik dan terlihat polos tapi dibalik itu dia orang yang keras kepala, kalau dia ada maunya nggak akan ada yang berani buat nolak. Soalnya kalau ditolak dia suka ngambek, parahnya lagi ancemannya selalu buat orang berada di posisi yang serba salah. Susah deh pokoknya.
"Rhein, jangan lupa besok jadwal kita jogging bareng di alun-alun." Ucapnya mengingatkan.
"Iya..." jawabnya singkat. Mereka kemudian berjalan menuju teras depan.
"Rhein, salam buaut om dan tante yah."
"Ok deh." Kedua jempolnya teracung manis di depan wajahnya yang tembem. "Salam juga buat mama kamu."
"Gue pulang, yah. Kasian mang Udin udah nungguin dari tadi." Setelah cipika-cipiki Diora lalau bergegas ke arah mobil dan segera duduk di kursi bagian depan.
"Hati-hati di jalan yah." Teriak Rhein. Tangannya melambai pada Diora yang sudah duduk di sedan birunya. Mobil pun bergerak menjauh. Tampak semakin lama mobil semakin kecil.
Jogging emang udah jadi rutinitas mingguan bagi mereka berdua, jogging bareng di hari minggu. dari matahari baru nomngol di ufuk timur ampe matahari terang benderang di atas kepala. Kata Diora sih biar otak jadi fresh lagi setelah enam hari penuh diisi ama banyak hal. Terutama pelajaran. Selain itu jogging kan buat jasmani kita jadi sehat, betul nggak??
"RA..!!!" Teriak Rhein. Diora masih saja tak bergemik. Gimana mau bergemik coba, orang headsetnya masih nangkring di telinga. Ya... mana denger Dioranya, walaupun diteriakin pake megaphone juga tetep nggak bakalan denger. Kan lagi konsen ke musiknya. Mana matanya ditutup lagi, kan nggak bisa ngeliat muka Rhein yang lagi kesel. ^_^
"Ra...!!" Sambil menarik headset.
"AAAAUUUUU!! membuka matanya, "Rhein!! Loe apa-apaan sih. Sakit, tahu!" Memegang kupingnya yang merah akibat tarikan Rhein. Ini anak nggak tahu orang lagi asyik apa? Batinnya.
"Abisnya kamu sih, Dipanggilin dari tadi nggak nyaut-nyaut. Kan aku jadi kesel." Jawabnya polos.
"Loe juga. Orang lagi dengerin musik loe panggilin." Merampas kembali headsetnya dari tangan Rhein.
"Aku juga udah teriak kali. Biar kamunya denger. Tapi tetep aja kamunya cuek." Wajahnya manyun.
"Dasar, loe ya..." Menggaruk-garuk kepalanya, "Ya, mana gue denger. Mau loe teriak pake alat pengeras suara juga gue tetep nggak denger. Orang gue dengerin musiknya pake volume maksimal kok. Ye..."
"Jadi, gimana dengan jawabannya?"
"Jawaban apaan?"
"Jawaban soal trigonometri tadi."
"Oooo, terus kenapa dengan jawabannya?"
"Kok malah balik nanya sih." Sedikit menghentakan kakinya ke lantai. Kemudian berjalan mendekati Diora. "Tadi kamu bilang mau ngebahas ini selesai makan. Sekarang kan,makannya udah, terus aku mau nagih kata-kata kamu tadi. So, gimana dengan jawabannya?" Tanyanya lagi.
"Ooo.. Gitu aja dipusingin. Biasa aja kali. Ya udah biar loe nggak rewel lagi, sini gue kerjain dulu pake cara gue sendiri." Memasang kembali headset yang tadi sempat terlepas dari telinganya. Kemudian mengambil selembar kertas yang ada di tangan Rhein.
Beberapa menit kemudian, Diora mulai mengutak-atik angka-angka yang membuat Rhein gelisah sambil mendengarkan musik dari MP3-nya. Sedangkan Rhein melihat cara Diora menyelesaikan soal tersebut. Sepuluh menit kemudian...
"Dua per tujuh." sahut Diora.
"Masa?!" tanyanya tak percaya. "Kok aku dapet dua per lima sih?" "
Tadi loe salah itung kali. Coba loe itung ulang lagi." Perintahnya.
"Iya deh..." Rhein menurut.
Setelah di selidiki ternyata Rhein memang salah menghitung. Dia nggak sengaja salah masukin angka.
"Tuh kan, bener. Loe itu seharusnya nggak usah panik kayak gitu."
"Iya deh. Aku salah." aku Rhein. Kemudian mereka asyik dengan kegiatan masing-masing. Rhein asyik membaca komiknya sedangkan Diora kembali ke dunia musiknya.
---
"Rhein, gue pulang dulu yah. Udah sore nih. Ntar gue dicariin lagi." Ujar Diora.
"Lho?! emang kamu nggak jadi nginep di sini?" Tanya Rhein.
"Nggak deh. Kapan-kapan aja. Lagian mama di rumah sendirian. Papa gue mendadak pergi dinas ke luar kota. jadi tinggal gue ama mama deh di rumah. Kasian kan kalau gue ninggalin mama sendirian?" Mengambil tas kesayangannya di atas meja.
"Ya udah. Tunggu bentar, yah?" Pintanya.
"Loe mau ke mana?"
"Bentar. Aku panggil mang Udin dulu, biar dia yang ngantarin kamu pulang."
"Nggak usah. Gue bisa pulang pake taksi kok." Tolaknya.
"Lho?! emang kamu nggak jadi nginep di sini?" Tanya Rhein.
"Nggak deh. Kapan-kapan aja. Lagian mama di rumah sendirian. Papa gue mendadak pergi dinas ke luar kota. jadi tinggal gue ama mama deh di rumah. Kasian kan kalau gue ninggalin mama sendirian?" Mengambil tas kesayangannya di atas meja.
"Ya udah. Tunggu bentar, yah?" Pintanya.
"Loe mau ke mana?"
"Bentar. Aku panggil mang Udin dulu, biar dia yang ngantarin kamu pulang."
"Nggak usah. Gue bisa pulang pake taksi kok." Tolaknya.
"Tuh kan mulai deh ngancemnya. Ya, udah kalau gitu. gue nurut deh." Kemudian Rhein memanggil mang Udin dan menyuruhnya mengantarkan Diora pulang ke rumahnya. Rhein emang anak yang baik dan terlihat polos tapi dibalik itu dia orang yang keras kepala, kalau dia ada maunya nggak akan ada yang berani buat nolak. Soalnya kalau ditolak dia suka ngambek, parahnya lagi ancemannya selalu buat orang berada di posisi yang serba salah. Susah deh pokoknya.
"Rhein, jangan lupa besok jadwal kita jogging bareng di alun-alun." Ucapnya mengingatkan.
"Iya..." jawabnya singkat. Mereka kemudian berjalan menuju teras depan.
"Rhein, salam buaut om dan tante yah."
"Ok deh." Kedua jempolnya teracung manis di depan wajahnya yang tembem. "Salam juga buat mama kamu."
"Gue pulang, yah. Kasian mang Udin udah nungguin dari tadi." Setelah cipika-cipiki Diora lalau bergegas ke arah mobil dan segera duduk di kursi bagian depan.
"Hati-hati di jalan yah." Teriak Rhein. Tangannya melambai pada Diora yang sudah duduk di sedan birunya. Mobil pun bergerak menjauh. Tampak semakin lama mobil semakin kecil.
Jogging emang udah jadi rutinitas mingguan bagi mereka berdua, jogging bareng di hari minggu. dari matahari baru nomngol di ufuk timur ampe matahari terang benderang di atas kepala. Kata Diora sih biar otak jadi fresh lagi setelah enam hari penuh diisi ama banyak hal. Terutama pelajaran. Selain itu jogging kan buat jasmani kita jadi sehat, betul nggak??
---
Keesokan paginya... "Rhein, bangun!" Panggil Bunda dari balik pintu kamar.
"Aaaahh..."
Suasana masih sepi. Tak tampak ada kehidupan di dalam sana.
"Rhein..!!" Teriak Bunda, akhirnya.
"Aaaah, Bunda." Membuka matanya dengan malas. "Nggak ngenak-enakin Rhein tidur aja. Nggak liat apa Rhein masih ngantuk?" Jawabnya asal.
"Ya... Mana Bunda liat. Orang Bunda di luar sini." Jawab Bunda polos. "Ayo dong, sayang. Bangun!" Bunda masih berusaha untuk membangunkan putri kesayangannya itu.
"Kenapa sih Bunda, kok tumben-tumbennya bangunin Rhein segala. Lagian kan ini hari minggu. Rhein bener-bener masih ngantuh nih."
"Tapi sayang...."
"Rhein masih ngantuk Bunda..." ucapnya manja menyela kata-kata Bunda yang belum selesai. Yang kemudian menyelimuti tubuhnya kembali dan mengambil posisi paling enak buat pergi ke alam mimpi sekali lagi.
"Bunda sih ngebolehin aja kamu tidur. Ampe ntar siang juga nggak apa-apa. Tapi Bunda nggak tanggung jawab yah kalau ada yang marah." Jawab Bunda enteng.
"Emang siapa yang bakal marah kaalu Rhein tidur ampe siang? Ayah?!"
"Bukan sayang. Tapi Diora." Jawab Bunda.
"Diora?!" Rhein duduk dan bersandar bantal di kasurnya." Apa alasannya Diora marahin Rhein? Nggak ada urusannya kali... Bunda aneh, ah."
"Ya, udah. Kalau nggak ngerasa ada yang bakal marahin kamu, ya kamu bisa tidur aja lagi." Kemudian terdengar langkah kaki yang menjauh dari balik pintu. Kayaknya Bunda udah turun tuh. Tidur lagi ah.... Pikir Rhein.
"Aaaahh..."
Suasana masih sepi. Tak tampak ada kehidupan di dalam sana.
"Rhein..!!" Teriak Bunda, akhirnya.
"Aaaah, Bunda." Membuka matanya dengan malas. "Nggak ngenak-enakin Rhein tidur aja. Nggak liat apa Rhein masih ngantuk?" Jawabnya asal.
"Ya... Mana Bunda liat. Orang Bunda di luar sini." Jawab Bunda polos. "Ayo dong, sayang. Bangun!" Bunda masih berusaha untuk membangunkan putri kesayangannya itu.
"Kenapa sih Bunda, kok tumben-tumbennya bangunin Rhein segala. Lagian kan ini hari minggu. Rhein bener-bener masih ngantuh nih."
"Tapi sayang...."
"Rhein masih ngantuk Bunda..." ucapnya manja menyela kata-kata Bunda yang belum selesai. Yang kemudian menyelimuti tubuhnya kembali dan mengambil posisi paling enak buat pergi ke alam mimpi sekali lagi.
"Bunda sih ngebolehin aja kamu tidur. Ampe ntar siang juga nggak apa-apa. Tapi Bunda nggak tanggung jawab yah kalau ada yang marah." Jawab Bunda enteng.
"Emang siapa yang bakal marah kaalu Rhein tidur ampe siang? Ayah?!"
"Bukan sayang. Tapi Diora." Jawab Bunda.
"Diora?!" Rhein duduk dan bersandar bantal di kasurnya." Apa alasannya Diora marahin Rhein? Nggak ada urusannya kali... Bunda aneh, ah."
"Ya, udah. Kalau nggak ngerasa ada yang bakal marahin kamu, ya kamu bisa tidur aja lagi." Kemudian terdengar langkah kaki yang menjauh dari balik pintu. Kayaknya Bunda udah turun tuh. Tidur lagi ah.... Pikir Rhein.
(to be continued)
No comments:
Post a Comment