Pages

Wednesday, August 11, 2010

Super Junior - Coagulation

Kali ini aku mau cerita tentang MV nah Super Junior dari album Bonamana, yang judulnya Coagulation.
Awal MV-nya ajah udah tragis. Go Hye Sun yang udah terlempar dari mobil karena kecelakaan bersama pacarnya. Sang cowok terjebak di dalam mobil yang terbalik dan ia tak bisa keluar karena sitbeltnya macet nggak bisa kebuka. Go Hye Sun yang juga terluka, berusaha untuk menyelamatkan sang pacar dari dalam mobil. Pertama dia menghubungi tim penyelamat untuk membantunya, kemudian mencari-cari sesuatu yang bisa memutuskan sitbelt yang macet tersebut. Dan di saat dia ingin memutuskan sitbelt dengan potongan kaca, si cowok memegang tangannya dan kemudian bicara pada Go Hye Sun yang di tutup dengan adegan kissu. Neh scene yang bikin aku tersayat banget dah, sedih banget dengerin pesan terakhir tuh cowok buat Go Hye Sun. Kemudian tim penyelamat pun datang dan memaksa Go Hye Sun keluar meninggalkan pacarnya di mobil. Tak lama Go Hye Sun keluar, tak lama setelah si cowok melambaikan tanganya dan tersenyum mobil pun meledak. Betapa menyakitkan bila orang yang paling dicintai mati di depan mata kepala sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa. Seketika itu pun, Go Hye Sun flashback kejadian sebelum kecelakaan di mana dia masih bersama dengan sang pacar yang membuatnya semakin sedih.
MV yang sangat tragis dan sukses buat aku nangis, tersayat banget pokoknya ma cerita MV nah..


Lyrics :

[Ryeowook] chagaun neoui geu han madiga naui maeume dahge dwaesseul ddae
[Ryeowook] nae nundongjaen nado moreuneun chokchokhan iseul bangul

[Yesung] eodiseo eoddeohge jagguman maethineunji nado moreujyo
[Yesung] geunyeong naega mani apeun geotman alayo
[Yesung] ddeugeowotdeon gaseumi jeomjeom ssaneulhajyo
[Kyuhyun] mworago malhalji eoddeohge butjabeulji nado moreugetjana
[Ryeowook] eoddeohge nan eoddeohge hajyo

[Kyuhyun] nanananana nananana yurichangedo nae nun wiedo
[Kyuhyun] iseul maethyeotne nunmul maethyeotne jakeun naetmuleul mandeune

[Ryeowook] eodiseo eoddeohge jagguman maethineunji nado moreujyo
[Ryeowook] geunyeong naega mani apeun geotman alayo
[Ryeowook] ddeugeowotdeon gaseumi jeomjeom ssaneulhajyo
[Kyuhyun] mworago malhalji eoddeohge butjabeulji nado moreugetjana
[Yesung] eoddeohge nan eoddeohge hajyo

[Yesung] nun gameumyeon heulreo naerilggabwa haneuleul olryeobwado
[Kyuhyun] gyeolguken mugeowojin nunmul han banguleul deulkyeobeorigo malatji

[Kyuhyun & Yesung] eoddeohge dasin neol bolsu eobseumyeon nan eoddeohge
[Kyuhyun & Yesung] naeil achim nado moreuge jeonhwagie soni daheumyeon geureomyeon naneun eoddeohge
[Yesung] useumyeo neoege joheun moseub namgigo sipeo neoreul bwatjiman
[Ryeowook] gyeolguken heulreo naeryeotji


Savir Biru part 4

"Ada apa sayang." cemas Bunda, "Kamu kenapa, mimpi buruk yah?" Mengelus rambut Rhein.
"Hah???!!!"
"Kamu mimpi buruk?" tanya Bunda lagi.
Rhein tak berkata-kata, hanya gelengan kepalanya saja yang dapat membuat bunda mengerti kalau dia baik-baik saja (mungkin). Dalam hatinya Rhein bersyukur ternyata kejadian yang baru saja dialaminya hanya sekedar mimpi. Tapi rasa takut yang begitu hebat masih menghampirinya. Entah pikirannya yang mana di dalam otaknya yang dapat membuat mimpi yang sedemikian menegangkan baginya.
"Ya sudah, kalau kamu merasa baikan. Lebih baik kamu tidur lagi. Tenangkan pikiranmu. Bunda pergi ke kamar yah. Selamat tidur sayang." Ucap Bunda sesaat sebelum meninggalkan Rhein sendiri di kamarnya.
Rhein tak  berani menutup matanya. Ia takut jika matanya terpejam maka kembali ke dunia mimpi, maka mimpinya yang menegangkan tadi akan kembali dan menghantuinya. Sebegitu takutnya kah Rhein?

Keesokan paginya...
"Rhein, matamu kenapa sayang?" tanya Bunda ketika melihat mata Rhein yang sembab. "Rhein menangis?!" tebak Bunda. Rhein hanya menggeleng lalu mengambil roti isi cokelat dan kemudian duduk dan makan dengan tenang.
"Beneran kamu nggak nangis? Tapi kok matamu sembab gitu. Kalau ada masalah cerita donk ke Bunda, mungkin Bunda bisa bantu." ucap Bunda bijak.
"Nggak kok Bunda. Rhein nggak nangis. Tadi malam Rhein cuma nggak tidur aja." jelasnya.
"Lho, bukannya saat bunda tinggal ke kamar kamu udah tidur lagi? Sebelum kamu teriak itu."
"Itu kan cuma bentar, Bunda. Setelah itu Rhein nggak tidur lagi."
"Kenapa nggak tidur lagi?"
"Nggak tahu."
Saat Bunda mau bertanya lagi, Rhein dengan segera menyalami tangan Bunda dan cipika-cipiki untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan berikutnya dan segera pergi dari hadapan Bunda menuju sekolah.
"Bunda, Rhein berangkat dulu yah." pamitnya. Bunda hanya bisa geleng-geleng kepala melihat anaknya yang tak suka dilempari banyak pertanyaan itu.

Matahari bersinar tak secerah biasa. Awan kelabu menutupinya, sehingga suasana pagi menjadi sejuk. Rhein jadi tak perlu khawatir membuka jendela mobilnya, menghirup udara pagi yang segar. Biasanya ia takut untuk membuka kaca mobil karena teriknya matahari pagi yang menyengat kulit.
Seperti biasanya Rhein diantar ke sekolah denga mobil sedan hitamnya dan mang Udin sebagai sopirnya. Pagi ini Rhein berangkat lebih awal, ia ingin melihat suasana sekolah di pagi hari, kilahnya saat Bunda bertanya. Padahal ia ingin tahu lebih banyak mengenai Gio dari Diora yang telah berjanji untuk memberikan informasinya pagi ini.
"Mang, ntar nggak usah jemput Rhein di sekolah, tapi di rumah Diora." pesannya sesaat sebelum turun dari mobil. Mang Udin hanya mengangguk tanda setuju. "Oh, iya mang. Ntar jemputnya maleman aja." Lanjutnya dengan senyuman di bibirnya. Kemudian Rhein  bergegas menuju kelas, tak sabar untuk menemui sahabatnya yang rela menjadi detektif baginya.
"Udah dapat infonya?" tanya Rhein setibanya di kursi sebelah Diora.
"Belum." menggelengkan kepalanya.
"Kok bisa??"
"Ya, bisalah." menghela nafas. "Gue udah tanya ke semua anak basket tapi nggak ada yang tahu rumah Gio di mana."
"Kayak tinggal di luar angkasa aja." Gumam Rhein.
"Hah.. Loe ngomong apa barusan?" 
"Ngomong apa?! Nggak ada." elaknya.
"Oh, iya loe udah ngerjain tugas bahasa Indonesia?" tanya Diora tiba-tiba.
"Tugas apaan?"
"Mengarang."
"Mengarang...." memutar otaknya untuk mengingat tugas apakah gerangan yang telah diberikan ibu Elie, guru bahasa Indonesianya tersebut.
"Maksud kamu tugas mengarang tentang lingkungan itu ya?" tanya Rhein memastikan.
"Yap."
"Kapan tugasnya dikumpul?"
"Hari ini."
"Hari ini?!"
"Yap. Sebelum bel harus udah terkumpul."
"Bel masuk?!" Diora mengangguk. "Ya, ampun. Tugasnya masih di rumah. Aku kira dikumpul besok. Duh, gimana nih?"
"Mana gue tau." mengangkat bahunya.

Teeeeeeeeeeeettt teeeeeeeeeeettt teeeeeeeeeeeeettt
Bel masuk bergema ke seluruh penjuru sekolah.
"Hah..." menepuk jidatnya. "Siap deh dimarahin bu Elie." Rhein pasrah.
Lima belas menit kemudian, bu Elie masuk dengan membawa setumpuk buku di tangannya. Rhein tak berani menatap wajah bu Elie, guru bahasa Indonesia yang termasuk jajaran guru killer di sekolah. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Semua siswa juga tahu apa yang akan terjadi pada siswa yang tidak mengerjakan tugas daru guru yang satu ini. Bisa aja di jemur di lapangan sekolah dengan sikap hormat menghadap bendera. Apalagi jika selama 2 jam pelajaran, itu berarti 90 menit. Lumayan untuk program menghitamkan kulit.
Beberapa saat kemudian, setelah melihat-lihat hasil kerja murid-muridnya, bu Elie mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Detak jantung Rhein tak beraturan. Ia sangat ketakutan. Tiba-tiba...
"Ya, kita lanjut ke materi cerpen, cerita pendek. Buka buku kalian halaman 275. Rheinza, tolong bacakan ceritanya." ucap bu Elie.
"Hah?!!" lirih Rhein tak percaya dengan apa yang didengarnya. Bu Elie bukannya menyuruh keluar kelas dan berjemur, malah membaca cerita. Aku lagi mimpi atau bu Elie yang salah minum obat pagi tadi. Lamun Rhein.
"Rheinza Arfandya!" panggil bu Elie setengah berteriak. "Kamu mendengar apa yang saya katakan?"
"I.. I.. Iya, Bu." Jawab Rhein gelagapan.
"Ya, sudah. Baca." ulang bu Elie.
"Baik, Bu."
Menit-menit kemudian dilalui Rhein dengan rasa kebingungan yang aneh dengan tanda tanya besar di kepalanya.
Di kantin sekolah...
"Rhein, loe boong ya?"
"Bohong soal apa?" Rhein menghentikan sebentar kegiatan menggambarnya.
"Soal tugas tadi. Loe bilang ketinggalan, tapi kenapa bu Elie nggak ngehukum loe?"
"Memang ketinggalan kok. Aku juga bingung. Apa bu Elie salah lihat atau salah hitung yah?"
"Ah, nggak tahu deh. Tapi syukur juga, kamu nggak dihukum." Diora tersenyum tipis.
"Iya, juga sih." Rhein tersenyum dan kembali menggambar.
"By the way, loe lagi ngapain sih? Kok kayaknya serius banget." tanya Diora penasaran.
"Cuma coret-coret aja kok."
"Sini gue liat." Diora mengambil buku yang dipegang Rhein. "Siapa sih yang loe gambar ini?" tunjuk Diora pada salah satu gambar yang dibuat Rhein.
"Nggak tau." jawabnya singkat.
"Loh kok nggak tau. Kan loe yang ngegambarnya."
"Yah, itu kan cuma imajinasiku aja. Jadi mana aku tau itu siapa."
"Oh, gitu yah." mengangguk-anggukan kepalanya. "Kayaknya nih gambar familiar deh sama seseorang." Diora memiringkan kepalanya ke kanan. Berpikir.
"Siapa?"
"Hmm..." Diora tampak berkonsentrasi.

"Siapa, Diora?"
"Nggak tau. Tapi gue pernah liat." Wajahnya menengadah. "Di mana yah?"
Tiba-tiba Gio melintas di depan mereka.
"Nah, itu dia yang gue maksud. Wajah gambar ini mirip banget dengan wajahnya ...."
"Maksudnya Gio?!"
"Ya, Gio. Wajahnya mirip Gio."
"Kamu nggak lagi bercanda kan?!" menggoyangkan bada Diora sekuat tenaganya. "Mana mungkin aku ngegambar muka orang yang nyebeli kayak dia gitu."
"Nyebelin apa nyebelin?" goda Diora. "Tapi kok bisa yah, gambar yang loe buat mirip banget ma Gio. Jangan-jangan loe suka lagi sama Gio."
"Suka?! Kamu bercanda. Nggak mungkinlah. Deket aja nggak apalaig ada rasa suka."
"Jadi kalau udah deket bisa suka nih ceritanya." Diora semakin menjadi-jadi menggoda Rhein.
"Ya, nggak lah. Jangan sampai deh aku jadian sama dia. Ngeliat mukanya aja aku udah sebel. Apalagi kalau harus deket ama dia. Iiiihhh..."
"Ngeliat mukanya sebel, tapi ngegambar mukanya nggak, kan?!" Diora merasa menang bisa memojokkan sahabatnya itu. "Bener, kan?!!"
"Kamu apaan sih?" Rhein cemberut. "Kalau kamu terus kayak gini, aku pergi aja yah. Biar kamu makannya sendirian." ancam Rhein.
Saat Rhein baru saja mencoba berdiri, tiba-tiba tubuhnya diraih seseorang. Rhein tak sadarkan diri. Dengan segera Rhein di bawa ke ruang UKS.




(to be continued)

Tuesday, August 10, 2010

Savir Biru part 3

Di lantai bawah...
"Bagaimana tante? Rhein udah bangun?" 
"Dia nggak mau bangun, malah tidur lagi kayaknya." Ucap Bunda yang kemudian meneruskan kembali sarapannya yang sempat tertunda.
"Memangnya Rhein nggak ingat yah tante hari ini ada acara ama Dio?"
"Maaf, Diora Bunda juga nggak tahu. Memangnya kalian mau ke mana?"
"Biasa tante, agenda mingguan."
"Ke mana?" tanya Ayah tiba-tiba.
"Mau ke alun-alun, om."
"Jogging?! Ya udah kalau begitu, Rhein kamu bangunin sendiri aja. Ntar kalau nunggu dia bangun sendiri kelamaan. Malah nggak jadi jogging lagi." 
"Baiklah, om." Diora mengacungkan jempolnya dan kemudian berjalan menuju ke kamar Rhein.
Diora kemudian menaiki anak tangga dengan berlari. Berbelok ke kiri dan mengetuk-ngetuk pintu kamar yang ada di ujung lorong. Tapi tak ada jawaban dari dalam. Untuk kesekian kalinya Dio mengetuk pintu, tapi masih saja tidak ada jawaban. Akhirnya tanpa dikomando, Dio masuk ke kamar. Meloncat ke atas kasur, tapi dasar Rhein yang bandel bukannya bangun dia malah hanya memutar posisi tidurnya.
"RHEIIIIINNN.. BAAANNGGGUUUUUUUUUNN...!!!" teriak Dio di telinga Rhein.
"Ah, Bunda. Kenapa sih teriak-teriak. Rhein kan udah bilang kalau Rhein masih ngantuk." protesnya tanpa membuka kelopak matanya.
"Bunda?! Enak aja loe!" Dio menoyor kepala Rhein, "Ini gue tahu! Diora."

"Ngapain kamu ke sini, Ra?" jawabnya malas.
"Loe kenapa nggak bangu-bangun sih, loe lupa apa hari ini kita jogging?"
Mendengar pertanyaan Diora tersebut, membuat Rhein terperanjat dan hampir jatuh dari kasurnya. Ia lupa jika hari ini ia ada jadwal jogging bareng Diora. Padahal kemarin Diora sudah mengingatkan, tapi dasarnya Rhein pelupa ya apa boleh buat.
"Iya, yah. Kalau gitu kamu tunggu di luar dulu yah. Aku mau ganti baju dulu."
"Aaah, males. Gue nunggu di sini aja deh."
"Nggak, nggak, nggak. Kamu keluar yah, nggak lama kok. Cuma lima belas menit aja." Pinta Rhein.
"Kenapa sih?"
"Aku nggak bisa ganti baju kalau ada orang lain."
"Ampuuun, sama-sama cewek ini."
"Pleaseeeee.." Rhein tampak memelas.
"Oke.. oke.. Gue tunggu loe di bawah. Jangan lama-lama yah." 
"Oke." Rhein tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Diora pun turun dan menunggu Rhein di bawah.
Beberapa saat kemudian Rhein turun dan sudah berpakaian olahraga lengkap dengan sepatu dan handuk kecilnya.
"Pagi Ayah! Pagi Bunda!" sapa Rhein dengan senyum manisnya.
"Pagi juga, sayang." balas Bunda.
"Udah puas tidurnya?" tanya Ayah.
"Belum, Yah. Baru Rhein mau tidur lagi saat Bunda turun, eh Diora dateng gangguin." Rhein memonyongkan mulutnya.
"Yuk, pergi. Udah siang nih." ajak Diora.
"Ayo.." Rhein menyomot roti bakar dari atas meja makan, "Ayah, Bunda, Rhein berangkat dulu yah." pamitnya.
"Loh, kamu nggak maka dulu?" tanya Bunda. Yang ditanya tak menjawab, hanya lambaian tangannya sebagai jawabannya karena mulutnya penuh dengan roti bakar.
"Beneran nggak makan dulu sayang. Roti kan nggak ngenyangin." bujuk Bunda lagi.
"Nggak, ini udah cukup kok Bunda." Rhein akhirnya menjawab setelah susah payah mengunyah roti di mulutnya sambil berlari ke arah pintu.
"Hey, Rhein. Makannya jangan sambil berlari begitu, ntar kesedak lagi." suara Bunda setengah berteriak.
"Sorry, Bunda. Sekali ini aja kok." Jawabnya enteng yang kemudian sosoknya telah lenyap di balik pintu.
"Oh, iya Rhein. Kamu mau ikut pergi ke rumah om Ridwan, nggak?" tanya Ayah mendadak yang sudah berada di depan pintu.
"Nggak deh, Yah."
"Kenapa sayang?" tanya Bunda yang sudah menghampiri Rhein.
"Rhein males. Lagian ntar Rhein pasti cuma bengong aja kerjaannya. Salam aja deh buat om Ridwa dan keluarganya." sahut Rhein.
"Ya udah kalau itu emang kemauan kamu. Ntar kamu bisa masak makan siang sendiri kan? Semua bahannya udah Bunda siapin di kulkas, kamu tinggal masak aja." terang Bunda.
"Oke, Bunda." Jawab Rhein dengan kedua jempol teracung dan senyum centil di wajahnya. "Ayah, Bunda Rhein berangkat yah." pamitnya sekali lagi sambil berlari keluar pagar menghampiri Diora yang sedari tadi menunggunya.


Setibanya di alu-alun...
"Rhein, loe inget nggak ama orang yang ngikutin loe terus akhir-akhir ini?" tanya Diora tiba-tiba.
"Maksud kamu, Gio?"
"Tuh orangnya." Diora menunjuk seorang pria dengan pakaian basket berwarna hijau milik sekolah Ginza Savirius di depan mereka.
"Maksud kamu itu Gio?" tanya Rhein tak percaya.
"Siapa lagi coba. Tuh lihat aja tulisan di punggungnya, A. A. G-I-O."
"Agastya A. Gio." lirihnya.
"Yupz, Agastya A. Gio. Ngapain tuh anak ada di sini?"
"Yah pastinya lagi olahraga, liat aja kostumnya."
"Gue juga tahu kalau itu. Tapi kenapa dia bisa olahraga di sini yah?"
"Kan di sini tempat umum. Jadi siapa aja bisa datang donk."
"Iya juga yah. Mungkin rumahnya juga di sekitar sini."
"Rumahnya di deket sini?!" Rhein tampak shock setelah mendengar kata-kata dari Diora.
"Lho?! Kok kaget gitu." tanya Diora setelah melihat ekspresi sahabatnya yang terkesan aneh.
"Kalau begitu, rumahnya deketan dengan rumah aku donk?"
"Ya, mungkin aja."
Tiba-tiba Rhein terduduk lemas di tempat. Tak ada kata yang terlontar dari bibir mungilnya. Diora pun segera berhenti berlari-lari kecil melihat sahabatnya kini terduduk lemas. Diora kemudian menggandeng Rhein dan berjalan ke arah taman yang jaraknya sekitar 10 meter lagi dari tempat mereka sekarang.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka sampai juga di taman. Di sana banyak orang-orang berkumpul. Mereka semua berolahraga, tua muda, pria wanita semua berkumpul di sana untuk berolahraga.
Diora membawa Rhein duduk di warung bubur ayam yang sedang mangkal di sana. Setelah mendudukkan Rhein di kursi, gantian dia yang meletakkan pantatnya di kursi dengan nafas tersengal-sengal akibat memapah Rhein yang sedari tadi melamun.
"Mang, bubur ayamnya satu." Pinta Diora pada penjual bubur ayam itu.
"Baik, Non." Terdengar sayup-sayup suara penjualnya.
"Rhein..." Panggil Diora lembut. Tak ada reaksi dari orang yang dipanggil. Seperti habis terkena mantra pembisu.
"Rhein..." panggil Diora sekali lagi. Tapi masih juga tak ada reaksi.
"Non, buburnya. Silahkan dimakan." Ujar mang Sofian, penjual bubur ayam itu. "Temannya kenapa, Non?" tanyanya heran setelah melihat Rhein yang duduk terdiam di kursi sebelah Diora.
"Nggak tahu, Mang." Mengangkat pundaknya, "Tadi dia tiba-tiba aja begitu di depan taman sana." Diora menunjuk lokasi di mana Rhein tiba-tiba lemas.
"Kok bisa begitu, Non?" mang Sofian tampak penasaran.
"Saya aja bingung. Mang, ada pembeli tuh." Diora menunjuk ke arah seseorang yang ada di samping gerobak bubur ayam. Dan seketika itu juga Diora terdiam untuk beberapa saat.
"No.." panggil mang Sofian, "Non, nggak apa-apa kan?"
"Heh, nggak apa-apa kok mang." menarik tangannya yang sedari tadi masih terjulur ke arah orang yang ditunjuknya.
"Non, saya pergi dulu. Mau melayani pembeli yang lain." pamit mang Sofian.
"Si.. Si.. Silahkan, mang."
Menit-menit kemudian dilalui dengan kesunyian yang mendalam. Tak ada sedikitpun suara yang terdengar keluar dari bibir manis Rhein dan Diora.
Bubur yang sedari tadi telah diantarkan kini dingin tak beruap lagi. Diora maupun Rhein, yang memang sejak tadinya terdiam tak bisa mengutarakan kata-kata lagi, bisu.



Di rumah Rhein...
"Gue lapar nih. Ada makanan nggak, Rhein?" Orang yang ditanya tidak juga menjawab. Maklum masih syok gitu deh.
"Rhein.. Loe denger gue nggak sih?" melambaikan tangannya di depan wajah Rhein. "Kok dari tadi omongan gue nggak digubris."
Mendengar perkataan Diora, Rhein hanya menolehkan kepalanya tanpa berbicara sepatah katapun. Rhein masih terlihat syok dengan kejadian yang dialaminya. Entah apa yang ada dalam pikiran Rhein saat ini yang membuatnya bersikap demikian. Untung saja orang tua Rhein tidak ada di rumah, kalau tidak habis sudah hujan pertanyaan dari kedua orang tuanya karena melihat anak semata wayangnya dalam kondisi yang aneh seperti itu.
Karena lelah menunggu Rhein yang tak kunjung berbicara dan karena perutnya yang sudah keroncongan dari tadi, akhirnya Diora pergi ke dapur dan mengubek-ubek isi kulkas untuk mencari apa yang bisa di makannya. Dan akhirnya dia pun menggoreng ayam sebagai santapan siangnya. Salah sendiri, beli bubur ayam bukannya dimakan tapi dianggurin doang karena bengong.

Malam harinya...
Entah siapa atau apa yang membuatnya begitu ketakutan seperti ini. Selama ini tak pernah ada sesuatu apa pun yag membuat ketakutan di hatinya Rhein. Ia selalu berani. Begitu hebatnyakah sesuatu ini? Hingga membuat Rhein sedemikia takutnya.
Ia merasa seperti ada yang mengikutinya terus setiap saat. Terdengar suara aneh dari arah luar rumah. Didapatinya gerakan-gerakan aneh dari balik semak-semak di depan rumahnya. Rhein merasa sangat ketakutan. Tak ada satu orang pun yang ada di sekitarnya yang dapat dimintai pertolongan. Sepi. Tak ada orang sama sekali. Suasana begitu gelap, bahkan bulan pun tak muncul untuk membantunya memberi penerangan. Menambah kelamnya malam dan ketakutan Rhein yang memuncak. Segera saja ia berlari ke kamar dan mengambil tongkat baseballnya. Awalnya ia sangat ketakutan, tapi dengan keberaniannya yang masih tersisa akhirnya ia pun berjalan perlahan dan mengendap-endap menuju pintu keluar dan menuju ke semak-semak yang tadi dilihatnya bergerak-gerak dari balik jendela. Saat tiba di balik semak-semak...
"AAAAAAAA..."





(to be continued)

Monday, August 9, 2010

Demensia (pikun)

Nah kali ini aku mau ngebagiin info seputar demensia atau kepikunan. Mulai dari tanda-tandanya, terus ada cara pencegahannya biar nggak pikun..
Lets check it out, guys..
^___^

Tahap awal demensia serta berbagai penyebabnya seringkali sulit untuk dideteksi. Namun beberapa gejala bisa dikenali sebagai tanda bahwa seseorang mulai mengalami kepikunan atau demensia.

Demensia merupakan gangguan kognitif akibat berkurangnya fungsi otak pada usia lanjut. Gangguan ini berdampak pada kecerdasan, daya ingat, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, dan konsentrasi.

Beberapa ciri-ciri orang yang mulai pikun seperti dikutip dari Telegraph, Senin (9/8/2010) adalah:

1. Sering salah meletakkan barang sehari-hari.
Misalnya meletakkan sesuatu di tempat yang tidak semestinya lalu tidak ingat ada di mana.

2. Mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Misalnya menyiapkan makanan, meletakkannya di meja tetapi lupa menyantapnya.

3. Disorientasi (kekacauan arah) secara umum
Seperti tidak mengenali jalan yang biasa dilalui atau sulit mengingat-ingat waktu

4. Kesulitan menemukan dan menggunakan kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu.

5. Kemampuan mengambil keputusan menurun.
Misalnya memilih mengenakan jaket saat cuaca panas atau kurang waspada terhadap ancaman bahaya.

6. Bermasalah dengan mood dan perilaku yang mirip gejala depresi.
Misalnya marah-marah, mudah tersinggung, acuh dan tidak peduli terhadap kebersihan diri.

Nah sebagai salah satu cara untuk bisa mengurangi bahkan mengembalikan memori di otak yang sudah hilang dapat dengan cara meminum jus anggur. Fakta ini bisa jadi alternatif pengobatan untuk mencegah pikun atau penyakit Alzheimer.

Peneliti dari bagian psikiatrik University of Cincinnati percaya bahwa kandungan antioksidan yang terdapat pada kulit dan daging buah anggur adalah kuncinya. Sebanyak 12 orang yang kehilangan memorinya mengikuti studi tersebut. Mereka dibagi dalam dua grup, yaitu grup yang mendapat minuman jus anggur dan grup yang mendapat minuman plasebo (semu/tanpa kandungan anggur). Selama 3 bulan studi berlangsung partisipan diberi tes memori secara rutin untuk mengetahui kemampuan otaknya, terutama kemampuan mengingat.

Hasil tes memori tersebut menunjukkan efek yang signifikan pada partisipan yang diberi jus anggur. "Mereka yang minum jus anggur menunjukkan hasil tes memori yang lebih baik dibanding mereka yang tidak minum jus anggur, baik pada tes verbal maupun non verbal," ujar Dr Robert Krikorian seperti dikutip dari Dailymail, Kamis (10/12/2009).

Penemuan ini dibahas dalam The International Polyphenols and Health Conference di Harrogate, North Yorkshire dan disarankan untuk membantu penderita Alzheimer atau pikun. Studi ini juga menegaskan teori yang mengatakan bahwa antioksidan dapat membantu mengurangi kemunduran fungsi otak.

Percobaan terhadap partisipan berusia 75 hingga 80 tahun yang sudah punya gangguan ingatan ini menunjukkan bahwa minuman anggur bisa mengurangi gangguan ingatan bahkan meningkatkan kemampuan mengingat.

Pada tahun 2006, peneliti di Amerika sudah melakukan studi tentang pengaruh jus sayur dan buah terhadap risiko penyakit Alzheimer. Dari studi yang dilakukan Vanderbilt University terhadap 2.000 orang tersebut, memang ditemukan bahwa sayur dan buah yang mengandung antioksidan sangat baik untuk mencegah risiko hilang ingatan.

Peneliti menemukan pengurangan risiko gangguan ingatan hingga 76 persen bagi mereka yang suka minum jus 3 kali seminggu dibanding mereka yang jarang minum jus atau hanya minum sekali dalam seminggu.

Nah dari penjabaran di atas yang didasarkan ama riset para ahli, kita emang sebaiknya rajin-rajin dah minum jus buah dan sayur yang mengandung banyak anti oksidan, biar nggak cepetan jadi tuanya aka pikun gitu deh. Nggak asyik dunkz masa masi muda udah pikunan kayak kakek nenek kita yang udah berumur..
Ayo guys, mulai sekarang setidaknya seminggu sekali dah minum jus buah dan sayur, terutama jus anggur..
OK?!

source by :  http://health.detik.com/

Thursday, August 5, 2010

희망은 잠들지 않는 꿈 - Kyuhyun

Satu lagi suara emasnya Kyuhyun ngisi soundtrack drama, kali ini dy ngisi OST. Baker King - Kim Tak Goo judulnya 희망은 잠들지 않는 꿈. Lagunya Balad neh jadi adem ngedengernya, ditambah suara Kyu yang ngisi tambah adem dah. Enak lah pokoknya bagiku. Liriknya juga enak tuk di hapal..
TOP dah pokoknya eh lagu..
Lets check it out, guys..
^^


Lyrics : 
Na oerowododoe neol saenggakhalddaen
Misoga naui eolgule beonjyeo
Na himdeuleododoe niga haengbokhalddaen
Sarangi nae mam gadeukhi chaewo

Oneuldo nan geochin sesangsoke saljiman

Himdeuleodo nungameumyeon ni moseubbun
Ajikgo gwitgae deulryeooneun kkumdeuli
Naui gyeoteseo neol hyanghae gago itjana

Nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom

Neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeon
Dasi ileoseol geoya

Naege sojunghaetdeon gieoksokui haengbokdeul

Himdeun sigan sokeseodo deouk ddaseuhaetdeon
Huimangeun naegen jamdeulji aneun kkum

Neul naui gyeoteseo geurimjacheoreom

Joyonghi neoneun naegero waseo
Na apahaneunji maeil oerounji
Geuriumeuro neoneun naege danyeoga

Sesangi nal ulge haedo naneun gwaenchana

Hangsang niga naui gyeote isseunigga
Meonjicheoreom chueoki byeonhaeseo ddeonalgga
Geujeo useumyeo maeumeul dalraeeo bwado

Nae salmi haruharu kkumeul kkuneun geotcheoreom

Neowa hamgge majubomyeo saranghalsu itdamyeon
Dasi ileoseol geoya

Naege sojunghaetdeon gieoksokui haengbokdeul

Himdeun sigan sokeseodo deouk ddaseuhaetdeon
Huimangeun naegen jamdeulji aneun kkum

Sueobsi neomeojyeo biteuldaedo

Naneun ireohgeseo itjana
Nae mam hanabbuninde
Himdeul ddaemyeon niga ireohge himi dwaejulrae
Neoreul hyanghae yeongwonhi

Ireohge sangcheo soke seulpeumdeuleul samkinchae

Miso jitneun nae moseubeul neoege boyeo julge
Ijeneun apeuji ana

Eonjena neowa hamgge irugopeun kkum ango

Galsu eobdeon jeopyeoneseo neoreul bulreobolgge
Nae maeum dahae saranghaneun neoreul
 
 

KRY Concert - The One I Love

Neh ada sebagian cuplikan KRY Concert - Japan waktu nyanyi The One I Love
This part focused on Kyuhyun...
^^  












Tuesday, August 3, 2010

IRUMA part 2

   Ting tong… Ting tong… Terdengar bunyi bel dari arah pintu depan.
   “Siapa sih sore-sore gini bertamu..” rungut Putri yang merasa terganggu dengan suara bel yang membuyarkan konsentrasinya.
   “Bunda….” Teriaknya, “ada tamu tuh..”
  “Siapa?” tanya Bunda yang berada di dapur.
  “Nggak tahu.” Jawabnya singkat.
  Ting tong… Ting tong… Bunyi bel terdengar lagi.
  “Sayang, dibuka donk pintunya. Kasian kan orangnya nungguin dari tadi.” Pinta Bunda.
  “Males, Bun..”
  Bunda pun terpaksa meninggalkan masakannya di dapur demi membukakan pintu untuk tamunya yang telah cukup lama menunggu di luar.
  “Sore, tante..” Sapa orang tersebut dengan senyum manisnya setelah melihat Bunda membuka pintu.
   “Sore…” Jawab Bunda dengan senyum khasnya.
   “Putrinya ada, tante?” tanyanya lagi.
   “Ouw, temannya Putri yah?!” tanya Bunda memastikan, tapi yang ditanya hanya membalas dengan senyuman. “Mari masuk.”ajak Bunda.
   “Putrinya lagi apa tante?”
   “Kayaknya lagi nyantai itu di kamarnya.”
   “Lagi baca komik yah tante?” tanyanya lagi.
   “Mungkin” jawab Bunda tak yakin, “Tante panggilin Putrinya sebentar yah. Kamu ditinggal nggak apa-apa kan?!”
   “Nggak apa-apa koq tante.”
   Bunda kemudian meninggalkan tamunya itu sendirian di ruang tamu, sementara ia memanggil Putri di kamarnya.
   Lima menit kemudian…
   “Kak Iruma?!” panggil Putri yang sedikit shock dengan apa yang dilihatnya. “Ada apa kakak dating ke rumahku?”
   Putri tampak sedikit gugup dan malu-malu dengan kehadiran Iruma di rumahnya sore itu. Ia bingung dan sedikit aneh bertemu orang yang disukainya dengan penampilan yang terbilang sangat santai. (ya iyalah, Cuma pake t-shirt ma celana pendek doank, gimana gak malu coba.) Iruma hanya tersenyum melihat tampang Putri yang begitu kaget dengan kehadirannya.
   “Putri…” panggil Iruma lembut, “koq kamu kaget gitu tampangnya?”
   “Haah.. Nggak kok, kak.” Masih berusaha untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
   “Duduk sini.” Ajak Iruma sambil menepuk-nepuk sofa di sebelahnya. “Masa tamu dibengongin gitu sih.” Ucap Iruma santai.
   Putri pun duduk di samping Iruma dengan berbagai pertanyaan yang mengisi otaknya mengenai Iruma yang tiba-tiba dating ke rumahnya sore ini. Tau dari mana kak Iruma alamat rumahku? Trus mau ngapain dia datang? Aaaaah, kenapa tiba-tiba dating begini?? Putri tak henti-hentinya memikirkan hal tersebut di kepalanya. Hingga akhirnya…
   “Putri, kamu nggak suka yah kakak dating ke rumahmu?” tanya Iruma setelah melihat reaksi Putri yang tampak aneh dan terus menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
   “Hah?!” Putri tampak tak berkonsentrasi dengan pertanyaan yang diberikan Iruma. “Kakak ada ngomong sama Putri?” tanyanya lagi.
   “Putri…” panggil Iruma lagi sambil memutar tubuh Putri sehingga mereka berhadapan, “kamu nggak suka kakak dating? Apa kedatangan kakak mengganggu?” ucap Iruma pelan.
   “Nggak. Nggak kok kak.” Putri cepat-cepat menjawabnya, ia tak ingin Iruma tersinggung dengan sikapnya barusan. “By the way, pertanyaan Putri belum kakak jawab deh tadi.” Putri berusaha menetralisir suasana hatinya.
   “Pertanyaan yang mana?” tanya Iruma dengan tangannya masih memegang pundak Putri.
   “Ada keperluan apa kakak dating ke rumah Putri sore ini?”
   “Oh, itu..” Iruma melepaskan tangannya dan bersandar di sofa. “Kamu lupa kalau hari ini kakak mau datang?”
   “Kapan kakak bilang mau dating?”
   “Loh, semalam kan kakak telpon. Putri nggak ingat yah?”
   Mendengar pernyataan Iruma tersebut membuat Putri mengulang kembali ingatannya tentang hal-hal yang mungkin terjadi semalam. Dan benarlah apa yang dikatakan Iruma, ia melupakan apa yang terjadi semalam. Padahal saat mendengarkan kata-kata Iruma yang akan dating ke rumahnya pada malam itu membuatnya senang bukan kepalang. Putri pun hanya bisa tersenyum sebagai jawaban kalau ia mengingatnya.
   “Tapi kak…” Putri sedikit ragu dengan apa yang akan diucapkannya, “kakak tau dari mana alamatku sekarang? Kan kakak belum pernah kemari.”
   “Kakak bertanya pada Septi.”
   “Septi?!” Tampak Putri tak menyukai Iruma menyebut nama Septi di depannya.
   “Itu loh temen sekelas Putri.”
   “Kakak bertemu Septi?”
   “Nggak. Cuma lewat sms.”
   “Kakak sering yah smsan sama Septi?” selidik Putri tiba-tiba.
   “Nggak juga. Kadang-kadang ajah. Lagian kan udah lumayan sering ketemu juga.”
   “Sering ketemu?” kembali nada suara Putri meninggi.
   “Iya. Kan kami satu kantor, Cuma beda divisi ajah.”
   “Ouw, gitu. Jadi….”
   “Loh, kok jadi bahas kakak sama Septi sih.” Potong Iruma sebelum Putri melanjutkan kata-katanya. “Jadi, kamu mau nemenin kakak sekarang?” tanya Iruma tiba-tiba membuat Putri tercengang.
   “Sekarang?!” tanya Putri memastikan
   “Iya, sekarang.”
   “Tapi kan, aku belum siap-siap. Mandi juga belum, kak. Masa mau pergi gini ajah?!”
   “Ya, udah. Kamu mandi terus siap-siap, kakak nunggu kamu di sini.”
   “Tapi, aku mandinya lama kak, terus….”
   “Kebanyakan tapi deh dari tadi,” potong Iruma lagi, “Cepetan sana!” Iruma mendorong Putri pergi dari tempatnya.
   Putri pun pergi ke kamarnya dengan segera. Perasaannya campur aduk saat ini. Sudah sekian lama ia tak bertemu dengan Iruma, sekalinya bertemu Iruma terus-terusan memberikan dia kebahagiaan yang tak terduga. Rasa saying yang sempat di pupusnya, kini hadir kembali dengan caranya sendiri. Entah bagaimana reaksinya jika apa yang ia inginkan dan harapkan menjadi nyata bersama Iruma.
   Sepeninggal Putri ke kamarnya, Iruma hanya tersenyum melihat langit-langit rumah. Tanpa ia sadari Bunda dating menghampirinya.
   “Hayo.. senyum-senyum kenapa itu?” sambil meletakkan segelas lemon tea dan sepiring cake pandan di meja.
   “Ha, tante..” Iruma hanya bisa tersenyum, kepergok senyum-senyum sendiri.
   “Lagi ngelamunin apa itu tadi mpe senyum-senyum sendiri gitu tante liat?” tanya Bunda lagi.
   “Nggak ngelamunin apa-apa kok tante.”
   “Bohong yah..” Nada bicara Bunda sedikit menggoda.
   “Nggak kok tante.” Wajah Iruma semakin memerah karena malu.
   “Oya, si Putri belum turun juga yah?” tanya Bunda lagi.
   “Udah kok tante. Tadi udah turun, tapi sekarang naik lagi.”
   “Kok naik lagi?!” Bunda terlihat heran mendengar perilaku anaknya yang tak biasa itu.
   “Iya, tante. Putrinya mau mandi katanya, makanya dia naik lagi.”
   “Nggak sopan itu anak.” Bunda lalu pergi meninggalkan Iruma. “Oh, iya. Itu di cicipi minuman dan cakenya.” Ucap Bunda setengah berteriak pada Iruma.
   “Iya.” Jawab Iruma yang kemudian menyomot satu potong cake pandan dan menyeruput lemon tea yang dihidangkan Bunda Putri.
Lima belas menit kemudian..
   “Yuk, kak. Kita pergi sekarang.” Tiba-tiba Iruma dikagetkan dengan suara Putri yang telah berada di depannya. Putri terlihat berbeda dari penampilan sebelumnya, ia terlihat manis dengan balutan short dress warna baby blue dan jepit rambut berbentuk dolphin di sela-sela rambutnya. Iruma sempat terpesona dibuatnya.
   “Kak…” panggil Putri lagi.
   “Ya..” Iruma tampak bener-bener kaget dengan panggilan Putri.
   “Kita berangkat sekarang?!”
   “Ok.” Iruma berdiri dari sofanya, “bunda kamu mana?”
   “Bunda lagi sibuk di dapur. Kenapa kak?”
   “Mau pamitan donk sama minta izin ngeculik kamu.” Iruma mengedipkan mata dan menoel hidung Putri.
   “Nggak perlu.” Jawab Putri singkat.
   “Kok nggak perlu?” Iruma tampak bingung.
   “Tadi aku udah izin. Aku kan nemuin Bunda dulu di dapur, baru nyamperin kakak.” Terang Putri.
   “Oooo. Tapi kakak tetep mau pamitan. Nggak enak pergi nggak bilang-bilang. Dapurnya sebelah mana?”
   “Tuh di sana.” Telunjuk Putri mengarah ke sebuah ruangan yang berada di ujung lorong.
   “Kakak ke sana sebentar yah.”
   “OK!”
   Setelah Iruma pamitan ke Bunda, mereka pun pergi. Putri duduk di kursi sebelah Iruma yang menyetir dengan santainya. Tanpa Putri sadari, Iruma selalu mencuri pandang padanya, dan setiap kali Iruma melihat dirinya Iruma akan tersenyum simpul. Andai saja, Putri…Pikir Iruma tiba-tiba.


(to be continued)