Pages

Sunday, July 18, 2010

Savir Biru part 1

"Sebel, sebel, sebel!! Apa sih maunya tuh anak?" Rhein menggerutu pada Diora di kantin saat jam istirahat sekolah.
       "Ada apa sih, Rhein?" Tanya Diora tanpa memalingkan mukanya, dan dengan santainya masih melahap bulata-bulatan bakso yang ada di hadapannya.
       "Panjang umur tuh anak." Menunjuk seorang cowok yang tersenyum ramah dan melambaikan tangan ke arah mereka.
       "Lho, itu bukannya Gio?!" Diora kaget. Untung baksonya nggak buat Diora keselek, kalau nggak kan masalah bisa nambah/
       "Iya, itu Gio." Sahut Rhein malas dan kemudian duduk.
       "Trus, kenapa dengan Gio? Kok bisa buat loe kesel gitu."
       "Udah beberapa hari ini, tuh anak ngikutin kemana pun aku pergi. Dari aku datang di sekolah sampai jam pulang pun aku diikutin. Gimana nggak bikin aku kesel, coba?" jelasnya.
       "Kemana pun??"
       "Iya, kemana pun."
       "Berarti ke kamar mandi juga ikutan donk?" tawa Diora tertahan.
       "Ya, nggaklah." Tegasnya, "Kalau dia coba-coba ngikutin aku sampai ke kamar mandi siap-siap aja digebukin anak-anak." Sahut Rhein sambil mengepalkan kedua tangannya.
       "Ya.. Kali aja kan. Kalau dia terus ngikutin loe bukannya enak yah, kan loe dapet bodyguard gratis." Masih mencoba menahan tawanya.
       "Enak apanya. aku jadi risih dibuatnya. Nggak enak kali diikutin terus ama orang yang nggak jelas gitu. Coba kamu yang jadi aku, apa kamu bisa ngomong kayak gitu ke aku sekarang?"
       "Iya... Iya." Sahut Diora, masih dengan senyum di bibirnya. Tapi tidak begitu dengan Rhein, darahnya mendidih di ubun-ubun. Wah, marah banget kayaknya.
       "Kamu ini gimana sih. Temen lagi kebingungan juga, kamu malah senyum-senyum dari tadi. Nggak pengertian banget!" Nadanya semakin kesal.
       "Truuuuss, Loe maunya apa sekarang?" Menghentikan aktivitas makannya untuk sementara waktu, "Apa gue harus ketemu ama Gio, trus bilang kalau Loe  ngerasa terganggu, gitu?"
       "Ya, nggak gitu jugalah caranya."
       "Trus, gimana donk?" memiringkan kepalanya, tanda bingung.
       "Ehm...." Rhein berpikir.
       "Tuh kan malah diem.'
       Tenang sesaat.
       "Apa loe ada salah ma dia?" tiba-tiba Diora membuka obrolan dengan suara yang lembut.
       "Salah?! ya nggak lah. Deket aja nggak." Nada suaranya masih tinggi.
       "Nggak ada?! Trus kenapa dia terus-terusan ngikutin loe?"
       "Ya, mana aku tahu." Jawab Rhein sekenanya.
       "Loe inget-inget lagi deh, apa beberapa hari terakhir ini loe ada ngelakuin kesalahan ma dia? Soalnya nggak mungkin kan, Gio, anak baru yang jadi ketua tim basket, anak kelas 3 IPA 6 yang jago ngegambar dan hobinya nulis itu ngikutin loe tanpa suatu alasan yang jelas? Aneh, tahu nggak." Sahut Diora.
       "Kamu mau aku bilangin kayak gimana lagi sih?! Aku kan udah bilang kalo aku nggak pernah buat salah ama dia. Ngobrol aja nggak pernah apalagi buat salah ke dia. Nggak mungkinlah..." Tegas Rhein.
       "Terus kenapa??" Diora masih penasaran.
       "Emang dianya yang resek kali ngikutin aku nggak tentu juntrungannya gitu." Sewot Rhein lagi.
       "Ya udah, kalau gitu. Loe lupain aja, mungkin itu hanya suatu kebetulan tiap kali ada loe nggak sengaja ada dia juga. Thinking positif ajalah." Usul Diora.
       "Okelah. Nggak penting juga mikirin dia." 
       "Yup, bener banget." Menjentikkan jarinya, "Eh, loe nggak makan Rhein?"Tanya Diora.
       "Nggak ah. Aku tadi udah sarapan di rumah, masih kenyang."
       Kemudian Diora meneruskan acara makannya yang sempat tertunda karena adanya interupsi dari Rhein, yang menurutnya nggak penting. Sedangkan Rhein, duduk melamun dengan kedua tangan menopang pipi tembemnya - yang nggak kalah gedenya ama bakpao- sibuk dengan khayalannya yang melambung tinggi di angkasa. Tiba-tiba....
       "YA, AMPUUUUN!!" Teriakan Rhein menggema, seluruh penghuni kantin yang ada saat itu tersentak kaget. Membuta seluruh mata yang ada melihat ke arahnya. Tak terkecuali Diora, hampir aja dia keselek bakso untuk yang kedua kalinya. Kasihan Dio :)
       "Hey!!" Bisik Diora, "Loe itu kenapa? Nggak liat apa semua orang pada ngliatin kita. kalau ngomong yang wajar aja kenapa sih? Nggak usah pake teriak-teriak gitu." kesal Diora.
       "Sorry, sorry. Aku refleks. Nggak sengaja." Wajahnya tampak menunjukkan rasa bersalah.
       "Emangnya loe kenapa?"
       "Aku ngelupain sesuatu yang penting."
       "Emang loe lupa soal apaan ampe' bikin loe teriak gitu?" Diora kebingungan. "Loe lupa kalau loe mau traktir gue hari ini?"
       "Bu...."
       "Ya ampun! Thanks banget yah, gue seneng deh punya temen yang baik kayak loe gini." Ujar Diora dengan innocentnya.
       "Maunya...!! Itu sih enakan di kamu. Aku bukannya lupa mau traktir kamu." Jawab Rhein.
       "Trus loe lupa soal apaan donk?"
       "Aku lupa kalau aku harus ke perpustakaan."
       "Perpus..?!" memandang dengan anehnya.
       "He-eh..."
       "Ngapain loe ke perpus? Tumben."
       "Ngambil buku paket matematika."
       "Buat apaan?"
       "Tadi aku disuruh pak Andi, katanya pak Rino nggak masuk, jadi kita disuruh ngerjain soal latihan."
       "Pak Rino nggak masuk?"
       Rhein tak menjawab, hanya anggukan kepala yang ia berikan sebagai jawaban.
       "Sumpah loe!!" Tanya Diora memastikan.
       "Iya, beliau hari ini sakit. Jadi nggak bisa masuk."
       "Alhamdulillah.." ucap Diora
       "Ra!! Kok loe gitu. Masa orang sakit loe malah seneng, bukannya di doain ini malah disyukurin. Gimana sih?" Sungut Rhein.
       "Tenang Rhein, tenang. Gue bukannya seneng pak Rino sakit tapi karena beliau nggak masuk, gitu." 
       "Sama aja."
       "Ya, nggak donk."
       "Nggak gimana?"
       "Kan pak Rino jarang banget tuh ninggalin kelas kayk gini, jadi kali ini aku bisa sedikit santai. Habis kalau pak Rino masuk, aku selalu ketempuan buat ngerjain soal-soal di papan tulis. Mending cuma satu atau dua soal, ini kadang-kadang sampai lima bahkan sepuluh. Ngerti kan maksudnya sekarang?" senyumnya.
       "Iya, iya, aku ngerti. Ya, udah kaalu gitu. Aku ke perpus dulu ya." pamit Rhein.
       "Eiit.. tunggu! Gue ikutan." tahannya, "bentar gue bayar dulu." sahutnya.
       "Cepetan!" perintah Rhein.
       Kemudian mereka pergi menuju perpustakaan yang jaraknya hanya beberapa lorong dari kantin. Sesampainya mereka di perpustakaan, dengan segera mereka menemui penjaga perpus dan mengutarakan niatnya untuk mengambil buku paket matematika yang di suruh pak Andi. Dan kemudian kembaki ke kelas untuk memberikan kabar ke teman-teman yang lain kalau pak Rino berhalangan hadir dan memberikan tugas untuk dikerjakan.
       Betapa riuhnya saat mereka tahu pak Rino nggak masuk, jarang-jarang ada 'jam kosong' di kelas IPA 2 kayak gini, apalagi matematika. Pak Rino termasuk guru yang rajin untuk mengisi jam pelajaran, beliau tak pernah absen untuk mengajar kecuali ada hal-hal yang sangat penting yang tidak bisa beliau tinggalakan, kalaupun terpaksa meninggalkan beliau pasti selalu memberikan tugas supaya murid-muridnya tidak berkeliaran keluar kelas ataupun membuat kegaduhan di kelas. Keriuhan berakhir dengan berita kalau tugasnya harus dikumpulin hari itu juga, suasana kembali tegang, karena mereka harus konsentrasi untuk menyelesaikan tugas yang sedikit namun memerlukan kemampuan extra.
       Apalagi bagi anak-anak yang nggak ngerti sama sekali dengan yang namanya TRIGONOMETRI, bisa kebayang kan gimana model soalnya dan gimana puyengnya kepala mikirin cara penyelesaiannya. Untung aja Rhein punya otak yang lumayan dan teman yang bisa diajak diskusi soal ini, siapa lagi kalau bukan Diora, sahabat sekaligus teman sebangkunya.
       Anak-anak yang emang nggak jago soal TRIGONOMETRI ini pasti nyiapin cara buat dapet jawaban dari temen-temen yang bisa. Tapi sayangnya nggak banyak yang mau ngasih contekan. Siapa sih yang mau ngasih hasil kerjaan yang udah capek-capek dibuat gitu aja ke orang lain. Nggak ada kan?? Masih mending kalau tuh anak ada niat mau belajar, diskusi bareng gitu. Paling nggak udah usaha buat ngertiin tuh materi, kalau nggak ngerti kan bisa dijelasin ama temen yang ngerti, nggak seratus persen nyalin hasil kerjaan orang lain gitu. Bener kan??
       Nggak lama Rhein dan Diora masuk dan ngejelasin masalah tugas, bel masuk pun berbunyi. Suasana kelas yang sunyi menjadi semakin sunyi, bak ruangan yang tak berpenghuni. Waktu untuk ngerjain tugas makin sempit nih, pikir mereka. Beginilah suasana belajar yang selalu buat Rhein enak belajarnya, tenang. Lain halnya dengan Diora, dia paling nggak bisa kalau suasana terlalu tenang, bawaannya selalu pengen tidur. Makanya untuk mengatasi hal itu, Diora selalu membawa MP3-nya kemana pun dia pergi. Selain untuk hiburan, MP3 itu bisa ngebuat otak Diora yang nggak bisa liat ketenangan bisa riuh sendiri tanpa mengganggu orang lain. Ini Rhein yang ngusulin lho.
       Saat itu, mereka sedang mengerjakan tugas bareng di rumah Rhein. Diora selalu bikin keributan yang ngebuat Rhein nggak bisa ngerjain tugasnya. akhirnya Rhein beranjak ke kamarnya dan minjemin MP3 miliknya sekaligus dengan headsetnya. Nggak lama setelah itu, Rhein bisa kerja dengan tenang dan begitu juga dengan Diora karena adanya MP3 Rhein yang membuat otaknya 'gaduh'. Dan sejak saat itu Diora nggak pernah lepas dari MP3 miliknya, hasil pemberian Rhein saat itu.
       Saat bel puang berbunyi, anak-anak IPA 2 keluar dengan wajah yang lesu dan pasrah. Capek banget, pikir mereka semua. Gimana nggak, sepuluh soal TRIGONOMETRI harus diselesaikan dalam waktu dua jam pelajaran. Dengan waktu yang begitu pendek, nggak ada satupun yang bisa nuntasin tugasnya. Paling banter ngerjain delapan soal. Itu juga palingan ngerjain soal yang gampang-gampang dulu.
       "Ra, aku masih penasaran nih ama jawaban soal nomor 7?" Rhein masih mengutak-atik angka di kertas oret-oretannya.
      "Emang menurut loe jawabannya berapa?" Tanya Diora sambil ngeberesin buku-bukunya.
       "Aku juga nggak yakin sih.. " Rhein bingung.
       "Emang tadi kita dapet jawabannya berapa?"
       "Ehm..." menggaruk-garuk kepalanya, "Dua per tujuh." jawabnya.
       "Trus....?"
       "Sekarang aku dapet jawaban yang beda nih."
       "Lalu sekarang dapet berapa jawabannya?"
       "Dua per lima."
       "Ehm..." Menggaruk tangannya yang nggak gatal, "balik, yuk!" ajaknya.
       "Kok balik?! trus ini gimana?" menunjuk kertas yang telah menjadi korban kekhawatirannya.
       "Balik.." rengek Diora.
       "Jadi gimana nih dengan jawabannya? Yang bener yang mana? Dua per tujuh atau dua per lima??
       "Balik aja dulu yah. Perut gue udah laper ini." Mengelus-elus perutnya. "Masalah itu ntar aja deh di rumah loe kita lanjutin, yang penting kita makan siang dulu. OK?"
       Tak menunggu komando lagi, Diora, yang bernama lengkap Diora Nadine Efra itu langsung mengemasi barang-barang milik Rhein yang masih tergeletak di atas meja ke dalam tempatnya. Kemudian menarik lengan Rhein, agar bergegas keluar dari kelas dan pulang.
       Saat mereka keluar kelas, mobil sedan biru telah menunggu di luar pagar sekolah mereka. Sopir pribadi keluarga Rhein, mang Udin, telah menunggu sejak bel pulang belum berbunyi, seperti biasanya.

No comments: