Pages

Tuesday, August 10, 2010

Savir Biru part 3

Di lantai bawah...
"Bagaimana tante? Rhein udah bangun?" 
"Dia nggak mau bangun, malah tidur lagi kayaknya." Ucap Bunda yang kemudian meneruskan kembali sarapannya yang sempat tertunda.
"Memangnya Rhein nggak ingat yah tante hari ini ada acara ama Dio?"
"Maaf, Diora Bunda juga nggak tahu. Memangnya kalian mau ke mana?"
"Biasa tante, agenda mingguan."
"Ke mana?" tanya Ayah tiba-tiba.
"Mau ke alun-alun, om."
"Jogging?! Ya udah kalau begitu, Rhein kamu bangunin sendiri aja. Ntar kalau nunggu dia bangun sendiri kelamaan. Malah nggak jadi jogging lagi." 
"Baiklah, om." Diora mengacungkan jempolnya dan kemudian berjalan menuju ke kamar Rhein.
Diora kemudian menaiki anak tangga dengan berlari. Berbelok ke kiri dan mengetuk-ngetuk pintu kamar yang ada di ujung lorong. Tapi tak ada jawaban dari dalam. Untuk kesekian kalinya Dio mengetuk pintu, tapi masih saja tidak ada jawaban. Akhirnya tanpa dikomando, Dio masuk ke kamar. Meloncat ke atas kasur, tapi dasar Rhein yang bandel bukannya bangun dia malah hanya memutar posisi tidurnya.
"RHEIIIIINNN.. BAAANNGGGUUUUUUUUUNN...!!!" teriak Dio di telinga Rhein.
"Ah, Bunda. Kenapa sih teriak-teriak. Rhein kan udah bilang kalau Rhein masih ngantuk." protesnya tanpa membuka kelopak matanya.
"Bunda?! Enak aja loe!" Dio menoyor kepala Rhein, "Ini gue tahu! Diora."

"Ngapain kamu ke sini, Ra?" jawabnya malas.
"Loe kenapa nggak bangu-bangun sih, loe lupa apa hari ini kita jogging?"
Mendengar pertanyaan Diora tersebut, membuat Rhein terperanjat dan hampir jatuh dari kasurnya. Ia lupa jika hari ini ia ada jadwal jogging bareng Diora. Padahal kemarin Diora sudah mengingatkan, tapi dasarnya Rhein pelupa ya apa boleh buat.
"Iya, yah. Kalau gitu kamu tunggu di luar dulu yah. Aku mau ganti baju dulu."
"Aaah, males. Gue nunggu di sini aja deh."
"Nggak, nggak, nggak. Kamu keluar yah, nggak lama kok. Cuma lima belas menit aja." Pinta Rhein.
"Kenapa sih?"
"Aku nggak bisa ganti baju kalau ada orang lain."
"Ampuuun, sama-sama cewek ini."
"Pleaseeeee.." Rhein tampak memelas.
"Oke.. oke.. Gue tunggu loe di bawah. Jangan lama-lama yah." 
"Oke." Rhein tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Diora pun turun dan menunggu Rhein di bawah.
Beberapa saat kemudian Rhein turun dan sudah berpakaian olahraga lengkap dengan sepatu dan handuk kecilnya.
"Pagi Ayah! Pagi Bunda!" sapa Rhein dengan senyum manisnya.
"Pagi juga, sayang." balas Bunda.
"Udah puas tidurnya?" tanya Ayah.
"Belum, Yah. Baru Rhein mau tidur lagi saat Bunda turun, eh Diora dateng gangguin." Rhein memonyongkan mulutnya.
"Yuk, pergi. Udah siang nih." ajak Diora.
"Ayo.." Rhein menyomot roti bakar dari atas meja makan, "Ayah, Bunda, Rhein berangkat dulu yah." pamitnya.
"Loh, kamu nggak maka dulu?" tanya Bunda. Yang ditanya tak menjawab, hanya lambaian tangannya sebagai jawabannya karena mulutnya penuh dengan roti bakar.
"Beneran nggak makan dulu sayang. Roti kan nggak ngenyangin." bujuk Bunda lagi.
"Nggak, ini udah cukup kok Bunda." Rhein akhirnya menjawab setelah susah payah mengunyah roti di mulutnya sambil berlari ke arah pintu.
"Hey, Rhein. Makannya jangan sambil berlari begitu, ntar kesedak lagi." suara Bunda setengah berteriak.
"Sorry, Bunda. Sekali ini aja kok." Jawabnya enteng yang kemudian sosoknya telah lenyap di balik pintu.
"Oh, iya Rhein. Kamu mau ikut pergi ke rumah om Ridwan, nggak?" tanya Ayah mendadak yang sudah berada di depan pintu.
"Nggak deh, Yah."
"Kenapa sayang?" tanya Bunda yang sudah menghampiri Rhein.
"Rhein males. Lagian ntar Rhein pasti cuma bengong aja kerjaannya. Salam aja deh buat om Ridwa dan keluarganya." sahut Rhein.
"Ya udah kalau itu emang kemauan kamu. Ntar kamu bisa masak makan siang sendiri kan? Semua bahannya udah Bunda siapin di kulkas, kamu tinggal masak aja." terang Bunda.
"Oke, Bunda." Jawab Rhein dengan kedua jempol teracung dan senyum centil di wajahnya. "Ayah, Bunda Rhein berangkat yah." pamitnya sekali lagi sambil berlari keluar pagar menghampiri Diora yang sedari tadi menunggunya.


Setibanya di alu-alun...
"Rhein, loe inget nggak ama orang yang ngikutin loe terus akhir-akhir ini?" tanya Diora tiba-tiba.
"Maksud kamu, Gio?"
"Tuh orangnya." Diora menunjuk seorang pria dengan pakaian basket berwarna hijau milik sekolah Ginza Savirius di depan mereka.
"Maksud kamu itu Gio?" tanya Rhein tak percaya.
"Siapa lagi coba. Tuh lihat aja tulisan di punggungnya, A. A. G-I-O."
"Agastya A. Gio." lirihnya.
"Yupz, Agastya A. Gio. Ngapain tuh anak ada di sini?"
"Yah pastinya lagi olahraga, liat aja kostumnya."
"Gue juga tahu kalau itu. Tapi kenapa dia bisa olahraga di sini yah?"
"Kan di sini tempat umum. Jadi siapa aja bisa datang donk."
"Iya juga yah. Mungkin rumahnya juga di sekitar sini."
"Rumahnya di deket sini?!" Rhein tampak shock setelah mendengar kata-kata dari Diora.
"Lho?! Kok kaget gitu." tanya Diora setelah melihat ekspresi sahabatnya yang terkesan aneh.
"Kalau begitu, rumahnya deketan dengan rumah aku donk?"
"Ya, mungkin aja."
Tiba-tiba Rhein terduduk lemas di tempat. Tak ada kata yang terlontar dari bibir mungilnya. Diora pun segera berhenti berlari-lari kecil melihat sahabatnya kini terduduk lemas. Diora kemudian menggandeng Rhein dan berjalan ke arah taman yang jaraknya sekitar 10 meter lagi dari tempat mereka sekarang.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka sampai juga di taman. Di sana banyak orang-orang berkumpul. Mereka semua berolahraga, tua muda, pria wanita semua berkumpul di sana untuk berolahraga.
Diora membawa Rhein duduk di warung bubur ayam yang sedang mangkal di sana. Setelah mendudukkan Rhein di kursi, gantian dia yang meletakkan pantatnya di kursi dengan nafas tersengal-sengal akibat memapah Rhein yang sedari tadi melamun.
"Mang, bubur ayamnya satu." Pinta Diora pada penjual bubur ayam itu.
"Baik, Non." Terdengar sayup-sayup suara penjualnya.
"Rhein..." Panggil Diora lembut. Tak ada reaksi dari orang yang dipanggil. Seperti habis terkena mantra pembisu.
"Rhein..." panggil Diora sekali lagi. Tapi masih juga tak ada reaksi.
"Non, buburnya. Silahkan dimakan." Ujar mang Sofian, penjual bubur ayam itu. "Temannya kenapa, Non?" tanyanya heran setelah melihat Rhein yang duduk terdiam di kursi sebelah Diora.
"Nggak tahu, Mang." Mengangkat pundaknya, "Tadi dia tiba-tiba aja begitu di depan taman sana." Diora menunjuk lokasi di mana Rhein tiba-tiba lemas.
"Kok bisa begitu, Non?" mang Sofian tampak penasaran.
"Saya aja bingung. Mang, ada pembeli tuh." Diora menunjuk ke arah seseorang yang ada di samping gerobak bubur ayam. Dan seketika itu juga Diora terdiam untuk beberapa saat.
"No.." panggil mang Sofian, "Non, nggak apa-apa kan?"
"Heh, nggak apa-apa kok mang." menarik tangannya yang sedari tadi masih terjulur ke arah orang yang ditunjuknya.
"Non, saya pergi dulu. Mau melayani pembeli yang lain." pamit mang Sofian.
"Si.. Si.. Silahkan, mang."
Menit-menit kemudian dilalui dengan kesunyian yang mendalam. Tak ada sedikitpun suara yang terdengar keluar dari bibir manis Rhein dan Diora.
Bubur yang sedari tadi telah diantarkan kini dingin tak beruap lagi. Diora maupun Rhein, yang memang sejak tadinya terdiam tak bisa mengutarakan kata-kata lagi, bisu.



Di rumah Rhein...
"Gue lapar nih. Ada makanan nggak, Rhein?" Orang yang ditanya tidak juga menjawab. Maklum masih syok gitu deh.
"Rhein.. Loe denger gue nggak sih?" melambaikan tangannya di depan wajah Rhein. "Kok dari tadi omongan gue nggak digubris."
Mendengar perkataan Diora, Rhein hanya menolehkan kepalanya tanpa berbicara sepatah katapun. Rhein masih terlihat syok dengan kejadian yang dialaminya. Entah apa yang ada dalam pikiran Rhein saat ini yang membuatnya bersikap demikian. Untung saja orang tua Rhein tidak ada di rumah, kalau tidak habis sudah hujan pertanyaan dari kedua orang tuanya karena melihat anak semata wayangnya dalam kondisi yang aneh seperti itu.
Karena lelah menunggu Rhein yang tak kunjung berbicara dan karena perutnya yang sudah keroncongan dari tadi, akhirnya Diora pergi ke dapur dan mengubek-ubek isi kulkas untuk mencari apa yang bisa di makannya. Dan akhirnya dia pun menggoreng ayam sebagai santapan siangnya. Salah sendiri, beli bubur ayam bukannya dimakan tapi dianggurin doang karena bengong.

Malam harinya...
Entah siapa atau apa yang membuatnya begitu ketakutan seperti ini. Selama ini tak pernah ada sesuatu apa pun yag membuat ketakutan di hatinya Rhein. Ia selalu berani. Begitu hebatnyakah sesuatu ini? Hingga membuat Rhein sedemikia takutnya.
Ia merasa seperti ada yang mengikutinya terus setiap saat. Terdengar suara aneh dari arah luar rumah. Didapatinya gerakan-gerakan aneh dari balik semak-semak di depan rumahnya. Rhein merasa sangat ketakutan. Tak ada satu orang pun yang ada di sekitarnya yang dapat dimintai pertolongan. Sepi. Tak ada orang sama sekali. Suasana begitu gelap, bahkan bulan pun tak muncul untuk membantunya memberi penerangan. Menambah kelamnya malam dan ketakutan Rhein yang memuncak. Segera saja ia berlari ke kamar dan mengambil tongkat baseballnya. Awalnya ia sangat ketakutan, tapi dengan keberaniannya yang masih tersisa akhirnya ia pun berjalan perlahan dan mengendap-endap menuju pintu keluar dan menuju ke semak-semak yang tadi dilihatnya bergerak-gerak dari balik jendela. Saat tiba di balik semak-semak...
"AAAAAAAA..."





(to be continued)

No comments: